Beberapa waktu yang lalu, adik kelas saya di masa kuliah mengirimkan sebuah kaos bertuliskan “Biar Peta yang Bicara”. Ya, kaos itu seakan mengingatkan kembali disiplin ilmu yang saya ambil ketika kuliah dulu yaitu Kartografi yang secara mudahnya disebut juga ilmu membuat peta atau atlas. Peta yang dibuat pun berbagai macam tergantung temanya, mau yang menampilkan data fisik seperti peta topografi, peta hidrologi dan sebagainya atau tema sosial-ekonomi seperti peta sebaran penduduk misalnya.
Hampir dua puluh tahun saya murtad dari disiplin ilmu Kartografi. Dulu ketika membuat selembar peta masih saya lakukan secara tradisional yaitu menggunakan pena dan kertas. Kini, cara pembuatan peta sudah sedemikan canggih, serba komputer dan tentu saja karena kemurtadan tadi, saya babar blas tidak bisa mengikuti perkembangan kecanggihan pembuatan peta. Meskipun begitu, peta tidak bisa lepas dari kehidupan saya sehari-hari baik untuk urusan kantor maupun urusan pribadi.
Untuk memudahkan semua urusan bepergian, saya akan membawa peta kota yang akan saya kunjungi, biasanya berbentuk satu lembar yang dilipat. Sedangkan yang berbentuk buku, saya hanya punya buku peta Jabotabek karya Gunther W. Holtorf dan Peta Jalan Bandung Raya terbitan DIC. Dua buku tersebut sangat detil isinya, sehingga memudahkan saya menjangkau tempat yang menjadi tujuan saya.
Peta yang baik adalah peta yang informatif dan selalu up-date, di mana orang awam bisa membacanya dengan jelas. Dan itulah pekerjaan seorang kartografer.