Ber-Islam secara kaffah

Bang Ali Nurdin ke mana-mana berpakaian jubah yang mirip gamis atawa gamis yang mirip jubah lengkap dengan kopiah hitam asli Indonesia. Kakinya dialasi terompah, sementara tangannya tidak lepas dari benda yang bernama siwak yang digosok-gosokkan di sela-sela gigi putihnya.

Setiap bertemu orang ia menebarkan salam, bahkan sebelum dan selepas ia memarahi seorang pemuda pemabuk di pos ronda ia juga mengucapkan salam meskipun dengan nada yang tidak terlalu ramah.

Pada suatu kesempatan ia bertemu dengan Mat Angin, sahabat lamanya, di warung kopi “Selalu Tersenyum” yang dibangun di bawah pohon waru.

“Assalamualaikum Mat Angin, apa kabar he..he..,” seperti biasanya di akhir kalimatnya Bang Ali Nurdin tertawa.

“Waalaikumsalam. Kabar sehat Bang. Duduk..duduk… Ente ini katanya mau ber-Islam secara kaffah, ngasih salam aja kok dikorting. Mestinya lengkap… kap!” kata Mat Angin sambil mempersilakannya duduk.

Maap…maap.. maklum, sedang belajar Islam secara kaffah nih, sering alpa he..he..,” jawab Bang Ali Nurdin, lalu memesan secangkir kopi jahe.

“Bang Ali, ane memahami maksud ente untuk belajar Islam secara kaffah, menyeluruh, total. Ane lihat saban hari ente berpakaian model gini, malah siwak tidak lepas dari mulut ente!” kata Mat Angin.

“Iya Mat, ini kan sunah Nabi toh. Bersiwak! Ente mesti belajar menjalankan sunah Nabi, mulai dari yang kecil-kecil, seperti yang ane lakukan ini. Pakai gamis dan bersiwak, hi..hi…” papar Bang Ali Nurdin.

“O, Bang Ali, sahabatku. Ane menghormati pandangan ber-Islam secara kaffah milik ente itu.  Ente kudu total mengikuti contoh yang diberikan Nabi dalam bersiwak. Tapi, ente tidak boleh memaksakan orang lain bersiwak sementara mereka berkeyakinan bahwa yang Nabi perintahkan itu sebenarnya menjaga dan membersihkan mulut dan gigi. Apakah cara membersihkannya dengan siwak atawa dengan sikat gigi dan pasta gigi bermerek tertentu itu tidak menjadi masalah. Mereka mau menjaga kebersihan mulut dan giginya dengan rutin ke dokter gigi setiap enam bulan sekali ya biarkan saja. Hanya karena tidak bersiwak, mereka tidak akan merasa berkurang ke-kaffah-an dalam ber-Islam. Demikian juga dalam berpakaian, selama pakaian itu sesuai syariat, menutup aurat, ya sudah. Entah modelnya gamis atawa baju biasa tidak jadi masalah,” panjang lebar Mat Angin memberikan pendapatnya.

“Jadi ane salah ya memahami arti kaffah?” tanya Bang Ali Nurdin, tanya ketawa.

“Tidak juga. Memahami sunah Nabi harus dengan ilmu. Kalau tidak paham ya tanyakan kepada ustadz dan guru kita yang lebih mumpuni ilmunya. Tapi menurut ane nih, inti dari pelaksanaan ber-Islam secara kaffah adalah  berhubungan dengan aqidah. Jangan menyembah Allah dengan setengah-setengah, kita dituntut untuk bertauhid dengan penuh totalitas. Tidak sinkretisme, mencampuradukkan berbagai ajaran agama,” Mat Angin menambahkan pendapatnya.

Bang Ali Nurdin meneguk kopinya, lalu berkata, “Ehm, ane jadi paham sekarang. Di luar masalah aqidah, Islam kaffah itu melibatkan bermacam penafsiran yang muaranya dalam rangka ber-Islam secara kaffah, toh?”

“Benar, Bang Ali,” jawab Mat Angin singkat.

Mangkanya, Bang Ali. Pakai lagi tuh motor bebeknya. Jalan kaki ke mana-mana kan capek!” sela Kyaine yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan dua sahabat karib itu.

“Ada apa nih Kyaine?” tanya Mat Angin.

Gini, Bang Ali Nurdin maunya naik onta Mat. Seperti Nabi,” tukas Kyaine.

“Hah. Lalu?” tanya Mat Angin kemudian.

“Kalau misalnya, jaman Nabi dulu sudah ada motor, kira-kira motornya Nabi apa ya?!” kata Kyaine sambil melirik Bang Ali Nurdin yang sibuk bersiwak.

Di ujung bangku, Bang Ali Nurdin bersiul dan pura-pura tidak mendengar.