Menyaksikan kemesraan Bapak dengan kekasihnya membuat aku ‘iri’. Betapa tidak, di rumah yang ‘sepi’ Bapak berduaan terus dengan kekasihnya itu. Keempat anak lelakinya merantau di dua-tiga pulau di nusantara. Hanya waktu lebaran saja, rumah itu akan diramaikan oleh celoteh delapan cucunya yang biasa memanggil Bapak dengan sebutan mBah Kung.
Aku pernah memergoki kemesraan mBah Kung dengan kekasih pujaan hatinya. Waktu itu aku sedang mengunjungi mereka. Bapak sedang berkebun, dari dalam rumah muncul seorang perempuan cantik berkerudung putih membawa secangkir teh manis dan ubi rebus hangat.
“Istirahat dulu mas. Ini teh dan ubinya,” katanya dalam bahasa Jawa. Kekasihnya itu memanggilnya dengan sebutan ‘mas’ padahal usia Bapak hampir kepala delapan. Mesra sekali, bukan?
Kekasih Bapak itu tak lain adalah Ibuku, perempuan yang telah mendampinginya selama hampir setengah abad, dan panggilan ‘mas’ itu tidak berubah meskipun mereka telah beranak-cucu. Kehidupan mereka memang seperti orang pacaran, ya mesra-mesranya, ya “berantem”nya. Sudah belasan tahun mereka hanya berduaan saja seperti layaknya orang pacaran.
Di kampung halaman, Bapak dan Ibu menjadi orang yang dituakan dan dihormati. Kami, anak-anaknya harus bisa menjaga kepercayaan itu. Bukan karena kami tak akung kepada mereka berdua sehingga tak mengajaknya tinggal bersama kami.
Meskipun mereka berdua sudah sepuh jangan ditanya aktifitasnya, terutama jam terbang kunjungan ke cucu-cucunya, yang jaraknya ratusan bahkan ribuan kilometer. Mungkin itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi mereka dapat mengunjungi anak dan cucunya.