Banjaran Basusena Karna

Kalangan

Para prajurit dari Klan Pandawa dan Klan Kurawa membuat kalangan, membentuk lingkaran besar di padang rumput Kurusetra. Hari itu jadwal perang tandingku melawan Arjuna. Aku sudah berdiri di kereta perangku, Salya yang mengendalikan kereta. Di seberang sana, aku lihat Arjuna pun telah berdiri dengan gagahnya di atas keretanya. Aku cukup terkejut mengetahui kalau Kresna menjadi kusir keretanya. Inilah perang tanding yang ditunggu banyak orang, perang kakak-adik. Sekilas aku melihat Kunti yang berada di pinggiran padang Kurusetra menyeka air matanya. Ibu mana yang tidak remuk hatinya menyaksikan dua putra kandungnya berseteru, melakukan perang tanding.

Kelingan

Jika engkau bertanya mengapa aku membela Kurawa, bukan berpihak kepada Pandawa yang merupakan saudara kandungku? Tentu engkau kelingan, ingat akan biografiku. Kunti tidak pernah mengatakan siapa ayahku. Ia mengandung diriku ketika ia berumur belasan tahun. Karena alasan menutup malu bagi wanita bangsawan hamil tanpa suami, aku yang masih bayi dilarung dan mulai saat itu hidupku mengikuti arah aliran sungai ke mana akan bermuara. Sudah menjadi nasibku, aku ditemukan dan dirawat oleh Adirata, seorang kusir kereta. Aku diberi nama Basusena, tetapi ayahku suka memanggilku Radheya, yang berarti anak dari Radha ibu angkatku. Betapa menyedihkan hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi kasta. Karena ayah angkatku berkasta suta, maka akupun mengikuti kastanya, sebuah kasta rendahan yang sering dicemooh oleh masyakarat kasta tinggi.

Kalungan

Meskipun ayahku seorang suta, ia sangat memerhatikan pendidikanku. Ia ingin aku menjadi seorang ksatria. Apapun ia lakukan supaya aku bisa diterima murid oleh Guru Parasurama. Karena kecerdasanku, Guru Parasurama menularkan ilmunya kepadaku. Hingga akhirnya aku lulus dan mulai merantau mengamalkan ilmu yang aku pelajari selama ini. Syahdan, di Hastinapura dilaksanakan sebuah turnamen adu panah. Aku datang ke turnamen tersebut meski tak diundang. Di sini suta-ku terkuak dan aku didiskualifikasi tidak boleh mengikuti turnamen. Di sini pula aku mulai berkenalan dengan Suyudana, seorang pangeran Hastinapura. Ia orang yang tidak memperdulikan kasta seseorang. Tanpa kuduga, Suyudana mengangkatku menjadi adipati di Awangga, sebuah wilayah di Hastinapura belum memiliki bupati. Hari itu juga, aku dinobatkan menjadi Adipati Awangga, bermahkota dan kalungan, berkalung rangkaian aneka bunga.

Kalingan

Terompet telah dibunyikan, tanda dimulainya perang tanding. Kereta yang dikendalikan Salya melaju kencang ke arah Arjuna. Di tengah arena, pedang-pedang kami saling beradu, dentingnya memekakkan telinga. Pedang kami patah, saking kerasnya kami mengadunya. Senjata diganti dengan tombak. Salya dan Kresna saling menghela kuda-kuda kereta supaya saling tabrakan. Tengah hari perang belum juga usai, hingga akhirnya matahari kalingan, terhalang mendung. Tak lama kemudian, hujan pun turun. Tetapi perang terus berlanjut, tubuh-tubuh kami satu-dua mulai terluka. Brakk…. roda keretaku terperosok dalam lumpur dengan keras yang mengakibatkan Salya hilang kendali dan terpelanting jatuh dari kereta, dan ia segera melompat kembali untuk mengendalikan kuda kami yang gelisah. Di tengah hujan itu, aku turun dari kereta untuk mengangkat roda kereta keluar dari lumpur.

Kelangan

Aku terduduk bersandar di roda kereta yang belum sempat aku selamatkan dari kubangan lumpur. Anak panah Arjuna telah menancap di punggungku dan menembus dadaku. Ya, Arjuna membidikkan panah Pasopati andalannya ketika aku berjuang mengangkat roda kereta. Aku telah kalah bertempur dengan Arjuna, adikku sendiri. Sekilas aku melihat Surtikanti berlari ke tengah arena perang untuk menghampiriku. Ia memelukku erat. Suamiku, aku tidak mau kelangan, kehilangan dirimu. Aku ingin mati bersamamu.