Kemarau panjang sembilan belas bulan berakhir sudah. Warna biru langit mak prepet berubah menjadi kelabu, mendung menebal dan tak perlu waktu lama hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Tanah gersang menyerap air demikian cepat, tetapi hujan tak putus asa. Ia tetap bersetia membasahi bumi.
Seekor kodok selama musim ketiga yang panjang tak mau jauh-jauh dari aliran sungai. Ia telah mendapatkan liang yang nyaman sebagai tempat tinggalnya. Hujan deras yang telah lama dinantikan ia sambut dengan hati riang gembira.
Ia meloncat ke sana ke mari mengejar titik rintik hujan, sementara mulutnya nyaring menyanyikan sebuah lagu. Hujan disambut sukacita oleh semua makhluk ciptaan Tuhan. Hujan telah mendamaikan hati yang gersang.
Saking gembira hatinya, ia tak menyadari kalau aliran sungai semakin deras. Bunyi gelegar petir yang menyambar awan hitam telah membuatnya terkejut dan terpeleset masuk ke sungai. Ia kintir oleh banjir, terhanyut mengikuti arus deras sungai menuju muara.
***
Dengan telaten, perempuan cantik itu merawat seekor kodok yang ia temukan pingsan tersangkut akar pohon di depan rumahnya. Ia tak tanggung-tanggung dalam menolong kodok itu. Ia tahu kalau kodok itu masih bernafas, maka ia tempatkan di atas dipan yang empuk dan hangat. Tak lupa, ia menyelimuti tubuh kodok supaya tidak kedinginan.
Di luar hujan masih turun meskipun rintik-rintik. Perempuan cantik memanasi sup di atas tungku kemudian ia membawa mangkuk sup dan mendekati pembaringan kodok. Secara perlahan dan sabar ia suapkan sup itu ke mulut kodok. Sesuap demi sesuap masuk ke mulut kodok dan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Perempuan cantik itu tersenyum lalu meninggalkan kodok untuk menyimpan mangkuk yang telah kosong.
Syahdan, kodok pun mulai membuka matanya. Samar-samar selaput matanya menangkap cahaya terang, kemudian setelah matanya terbuka sempurna betapa terkejutnya ia ketika disadari ia berada di atas dipan di dalam rumah yang nyaman.
“O, rupanya kamu sudah siuman.Istirahatlah dulu, di luar masih hujan,” sapa perempuan cantik mengejutkan sang kodok.
“Terima kasih, puteri telah menolong saya. Kalau boleh tahu, siapa puteri ini dan saya berada di mana?” tanya kodok memberanikan diri.
“Aku adalah peri penunggu sungai, kamu berada di rumahku,” jawab perempuan cantik yang tak lain adalah Peri Sungai.
“Panggil saya dengan Bambang Sukodok, Peri,” kata sang kodok.
Sejak saat itu terjalin keakraban antara Bambang Sukodok dan Peri Sungai, bahkan Bambang Sukodok tinggal di rumah Peri Sungai. Ada saja yang dikerjakan Bambang Sukodok untuk membantu Peri Sungai.
Maka, terjadilah witing tresna jalaran saka kulina. Bambang Sukodok telah mencuri cinta Peri Sungai.
***
Pada suatu pagi, Bambang Sukodok mengajak Peri Sungai membicarakan hal yang sangat serius.
“Peri, bagaimana kalau secepatnya kita menikah? Tak elok bukan, ada bujang dan perawan tinggal dalam satu rumah?” Bambang Sukodok mengajukan lamarannya.
“Ya, aku rasa begitu jauh lebih baik. Segera saja kita persiapkan segala sesuatunya agar acara pernikahan kita nanti berlangsung meriah,” Peri Sungai menyambutnya dengan antusias.
Tiga hari tiga malam mereka menggelar hajat pernikahan.