Balada Sang Murai Gagap

Telaga yang terletak di tengah taman, siang itu sungguh tenang airnya. Bunga-bunga yang bermekaran warna-warni di sekitarnnya menambah keindahan telaga itu, bahkan sangat memesona mata siapa pun yang mengaguminya.

Nun di salah satu sudut telaga, pada pohon yang rindang bertenggerlah seekor Murai yang sedang bermuram durja. Sudah dalam hitungan tujuh kali matahari terbit ia selalu berada di sana. Matanya tidak pernah lepas dari memandang air bening di bawahnya. Tanpa sepengetahuannya, seekor ikan Nila selalu memperhatikan tingkah Murai.

Nila merasa iba melihat Murai yang selalu bersedih, belum pernah sekali pun ia mendengar kicauan Murai. Nila memberanikan diri menyapa Murai.

“Hai kamu yang di atas sana. Kenalkan namaku Nila. Setiap hari aku melihatmu selalu bersedih. Maukah kamu menjadi sahabatku?” Nila menyapa hangat.

Murai diam saja, matanya menatap Nila. Ia menangis. Nila menjadi salah tingkah, lalu berkata lagi kepada Murai.

“Wahai burung yang cantik, apakah kata-kataku menyakiti hatimu sehingga kamu menangis seperti itu. Aku bermaksud baik, hanya ingin menjadi temanmu.”

“Ak..ak.. akkuu….” Murai mulai membuka mulut.

“Ayo, jangan takut padaku kawan. Katakan sesuatu…!” perintah Nila.

“Mmm.. akk..akkuu.. hmm..jjugga ing.. inggiin bberrkkawaan ddenngannmuu…ttappi.. aappakah kkammu mmmaau berrkkawaann ddeengannkku yyaangg ggaggap iinnii…” akhirnya dengan keberaniannya Murai berhasil menyelesaikan kalimatnya.

“Lho, memangnya kenapa kalau kamu gagap. Kita kan masih bisa tetap berteman kan?” kata Nila.

Murai merasa sangat terhibur oleh ketulusan Nila. Dengan susah payah ia menceritakan kenapa ia bertengger di pohon selama berhari-hari di atas telaga sambil memandang beningnya air telaga.

Alkisah, karena kegagapannya Murai sering diolok-olok oleh teman-temannya. Ia satu-satunya burung yang tidak bisa berkicau. Kalau Murai menangis karena olok-olokan itu teman-temannya akan bersorak gembira. Murai pun sangat sedih dan diam-diam pergi meninggalkan teman-temannya, akhirnya menemukan pohon yang rindang tempat ia menyendiri, berteman dengan bayangannya sendiri yang terpantul dari beningnya air telaga.

“Ya sudah, mulai sekarang kita berteman. Kamu tidak usah memikirkan gagapmu, nanti aku akan menghiburmu dengan nyanyianku,” hibur Nila.

Maka sejak saat itu, Murai bersahabat dengan Nila.

Pada suatu hari, ketika Murai sedang terkantuk-kantuk di atas dahan dilihatnya ada seorang nenek yang berjalan tertatih menuju telaga. Nampak wajah nenek sangat letih, sepertinya habis melakukan perjalanan yang jauh. Dengan hati-hati nenek itu meraup air telaga dan meminumnya. Belum puas meminum air telaga yang jernih itu, ia membasuh mukanya. Berkali-kali ia meraup air dan membasuhkan ke tangan dan kakinya. Tiba-tiba terdengar teriakan nenek yang mengagetkan Murai.

“Oh.. cincinku jatuh di telaga. Bagaimana aku harus mengambilnya. Tak ada seorang pun di sekitar sini yang bisa aku mintai pertolongan,” teriak nenek itu sambil tengok kiri-kanan barangkali ada orang di sekitar telaga. “Cincin itu hartaku yang berharga satu-satunya!” raung nenek.

“Nnenekk… akkkuuu akkan menncobba mennolloongmuu, ttunggguu diss siini yyaa!” kata Murai terbata-bata. Nenek belum sempat menjawab, Murai sudah keburu terbang meninggalkan nenek.

Ke mana si Murai? O, rupanya ia terbang mengelilingi telaga sambil memanggil Nila, sahabat karibnya. Setelah bertemu dengan Nila. Murai memberitahu temannya itu kalau di dasar telaga ada cincin nenek yang jatuh saat mengambil air. Ia minta tolong kepada Nila supaya mengambilkan cincin itu.

Nila pun segera menyelam ke dalam telaga. Tidak lama kemudian di ujung mulutnya telah ada sebuah cincin yang tak lain milik nenek. Murai dan Nila mendekat ke arah nenek untuk menyerahkan cincin yang jatuh tadi.

Pada saat nenek menerima cincin itu, tubuh nenek memudar dan berubah menjadi seorang peri yang jelita. Rupanya peri sedang menguji si Murai apakah ia peduli dengan kesedihan dan kesulitan pihak lain. Ternyata si Murai lulus ujian. Sebagai ungkapan terima kasih, dengan tongkat ajaibnya, peri menyembuhkan gagap si Murai.

Sekarang, dengarkan betapa merdunya kicauan Murai. Ia dan Nila mengitari telaga sambil bernyanyi : senang/riang/hari yang kunantikan/kusambut/hai pagi yang cerah/matahari pun bersinar terang …

Note: Judul dan alur cerita oleh Ibu Nakja