Bajak Laut Selat Malaka

Kekejaman bajak laut Selat Malaka ternyata bukan isapan jempol. Sebetulnya, waktu di dermaga pelabuhan tadi perasaan saya sudah tidak enak ketika akan berangkat mengarungi Selat Malaka. Dan benar saja, di tengah lautan kapal yang saya tumpangi dirompak oleh bajak laut. Waktu itu saya ada di dek kapal, menikmati keindahan hayati bagian kecil dari luasnya lautan nusantara. Entah dari mana datangnya kapal gerombolan bajak laut, ujug-ujug mereka sudah naik ke atas kapal dan menyandera kapten dan kru kapal.

Saya yang pernah ikut pramuka, ingin jadi jagoan dan pahlawan bagi para penumpang kapal yang  mulai panik. Dengan senjata seadanya, dua orang bajak laut berhasil saya lumpuhkan. Tapi apalah daya saya, ketika lima bajak laut mengepung dengan bersenjatakan pedang dan golok yang bentuknya membuat bulu kuduk berdiri. Salah satu dari mereka melemparkan jaring ke arah saya, dan bisa diduga saya terperangkap di sana.

Dengan tubuh terikat, saya diseret untuk dihadapkan kepada pimpinan bajak laut. Gentar juga nyali saya, dan dalam keadaan kepepet seperti ini tiba-tiba saja saya membutuhkan pertolongan Tuhan.

Benar-benar menyeramkan pimpinan perompak Selat Malaka ini. Gambarannya persis dengan film produksi Hollywood atau Disney atau seperti yang terdiskripsi di buku-buku bacaan : muka seram dengan karet hitam menutup mata kirinya, tangan kanannya dipasang pengait dan kaki kiri ditopang dengan sepotong kayu (lihat gambar di atas).

“Jadi kamu ingin jadi pahlawan kesiangan ya? Ukurlah kemampuanmu!” bentak pimpinan bajak laut itu sambil tangannya menampar wajah saya. Panas mengenyat. Masih untung ditampar dengan tangan kirinya.

“Lucuti pakaiannya, dan buang ke laut biar dimakan ikan hiu!” perintahnya kepada anak buahnya yang sejak tadi di samping saya.

Asli, saya gemetar dan kencing di celana saking takutnya (ntar kalau saya dimakan hiu, siapa dong yang up date blog ini). Pikiran kalut, mencari cara untuk melakukan negosiasi dengannya.

“Sebelum saya dimakan hiu, untuk mengobati rasa penasaran saya selama ini, bolehkah untuk terakhir kali sebelum saya terjun ke laut menanyakan sesuatu kepada kamu?” saya berusaha tegar, meskipun nada suara saya mengisyaratkan suatu ketakutan yang sangat.

“Apa itu?” katanya singkat.

“Saya penasaran kenapa penampilan bajak laut selalu seperti kamu, kaki kiri ditopang kayu, tangan kanan dipasang pengait dan karet hitam di mata kiri. Itu saja,” akhirnya kata-kata keluar lancar dari bibir saya.

“Ha..ha…ha… hanya pertanyaan semacam itu…Baik-baik… aku akan menjawab rasa penasaranmu. Kaki kiriku putus ketika aku merompak di laut Australia, sedangkan tangan kananku putus ketika bertempur dengan musuh di lautan China Selatan. Makanya aku pasang pengait ini,” dia mulai bercerita.

“Lalu bagaimana dengan mata kirimu?” saya mulai rileks.

“Ketika itu, di sore yang cerah aku tiduran di tepi pantai Madagaskar. Seekor burung camar yang sedang terbang di atasku menjatuhkan kotoran tepat di mata kiriku” katanya.

“Kotoran burung camar bisa menyebabkan buta?!” saya bertanya heran.

“Benar, aku mengucek mata kiriku. Aku lupa, kalau tangan kananku telah terpasang pengait ini sehari sebelumnya,”  dia mengakhiri ceritanya.

Terbayar sudah rasa penasaran saya. Sebentar lagi, ikan hiu Selat Malaka akan berpesta pora.