Dan saya pun tiba di Tanahair, hape lobet

Saya sudah janji kepada seorang teman yang akan menjemput saya bahwa saya akan mengirim kabar kalau sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, sehingga bisa mengatur jam berapa mesti datang menjemput, supaya dia tidak lama menunggu di Wisma Haji Karawang. Perjalanan Bandara ke Wisma Haji Karawang paling cepat satu setengah jam, tetapi kalau mampir ke Wisma Haji Bekasi, bisa lebih lama lagi. 

Ketika pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta HP saya hidupkan, tapi celaka battery habis, sempat lobet, tapi cuma sebentar. HP yang dibawa ibunya anak-anak pun lobet, tinggal 2 strip. Nomor HP teman ada di HP saya, maka saya lepas battery yang sudah lobet tadi untuk saya pasangkan di HP saya, eh.. ternyata tidak cocok. Ketika battery tersebut kembali saya pasang ke HP sebelumnya, tinggal 1 strip – makin lobet deh. Saya konsentrasi ke fikiran dengan sedikit merapal doa, mengingat-ingat nomor HP teman saya yang akan menjemput saya itu. Dapat! SMS-pun terkirim padanya. Akhirnya, battery itupun tewas. 

Setelah mendapatkan tempat duduk yang nyaman, saya mengobok-obok tas tentengan saya untuk mencari charger HP. Hampir 15 menit baru saya temukan, perjuangan berikutnya mencari stop contact di bandara. Mata jelalatan, stop contact tidak ketemu juga. Seorang cleaning service yang sedang menyapu saya hampiri, dan saya minta menunjukkan di mana ada stop contact.

Saya dibawa ke sebuah ruangan, di sana ada stop contact yang kondisinya memprihatikan, tutupnya separoh hilang. Saya colokkan ke sana, ternyata masih berfungsi. Wahai teman, sungguh menyiksa memelototi HP yang sedang di-charge, apakah battery sudah penuh atawa belum. Sementara mata saya sering melihat keluar, jangan-jangan saya ketinggalan bus yang akan membawa ke Karawang. 

Ketika beraktifitas ngecharge HP ini saya ditemani oleh cleaning service tadi. Dia malah curhat ke saya, mulai dari capeknya bekerja selama 12 jam seharinya, gaji kecil dan tidak ada lembur… bla..bla..bla… Battery baru separoh terisi, sudah ada panggilan agar kami segera naik bus. Charger saya cabut, dan tidak lupa menyelipkan “uang berwarna merah” kepada si cleaning service. 

Sampai dengan di Karawang, HP saya bisa dipakai untuk berkomunikasi dengan teman saya.

Maka loloslah air Zamzam itu

Pengalaman yang cukup “menegangkan” terjadi di Bandara Madinah saat pemeriksaan barang-barang yang dibawa. Meskipun sejak awal saya tidak membawa tas tambahan (hanya tas tentengan yang disediakan pihak penerbangan) saya deg-degan juga ketika kaki semakin mendekati tempat scanning barang.

Bagaimana tidak tegang, di dalam tas tentengan saya ada beberapa liter air zamzam (dan saya juga menyimpan di tempat lain). Di pemeriksaan awal banyak teman yang terkena sweeping agar air zamzam tersebut dikeluarkan dari tas dan dilarang dibawa masuk ke pesawat. Ketika tas saya di-scan, saya dilarang untuk melanjutkan ke loket imigrasi dan disuruh membuka tas. “Waduh, kena deh!” kata saya dalam hati. Sengaja agak lama saya mengobok-obok tas, sementara otak saya berputar bagaimana supaya air zamzam bisa terbawa ke tanah air.

 Sementara itu, tas-tas lain mulai menumpuk karena “kelambatan” saya. Petugas berteriak tidak sabar dan ingin membantu saya. “Yup!!” saya tersenyum, dan tangan kanan saya menunjukkan sesuatu barang “yang berpotensi membayakan penerbangan” sambil berkata ke petugas (yang mulai tidak konsen terhadap barang saya): “This?” Petugas tersenyum sambil geleng-geleng kepala dan menerima barang dari saya. Selanjutnya, saya melenggang membawa tas tentengan, tas pinggang dan tas paspor saya ke pesawat.

Tahukan Anda, barang “yang berpotensi membayakan penerbangan” yang saya berikan kepada petugas itu? Barang itu adalah sambungan kabel yang biasa saya pakai ketika memasak air sekalian charge HP. Waktu itu saya beli di toko si Ahmad seharga 25 riyal.

Saya sangat menyayangkan perlakuan petugas Indonesia yang membentak-bentak jamaah haji yang membawa air Zamzam dan barang lain (seperti oleh-oleh) yang tidak sempat dimasukkan/disatukan dengan tas tentengan, supaya ditinggalkan di Bandara Madinah. Padahal, petugas Bandara ramah-ramah saja dan membiarkan air Zamzam terbawa ke Tanahair. 

Maafkan saya, Kapten!

Tanpa terasa, 40 hari sudah saya berada di Tanah Haram. Kebersamaan dengan teman-teman satu kelompok bimbingan haji Al-Holiliyah (140-an orang) akan segera berakhir, karena kalau sudah kembali ke tanah air masing-masing sibuk dengan urusannya.

Pagi itu, kami berkumpul untuk mengadakan acara perpisahan. Diawali dengan ungkapan syukur atas selesainya rangkaian ibadah haji di Mekkah dan shalat arbain di Madinah. Anggota rombongan dalam keadaan sehat dan prima saat itu. Evaluasi pun dilakukan di internal kelompok kami, agar teman-teman atau saudara kami yang tahun depan bergabung dengan kelompok bimbingan haji ini mendapatkan pelayanan yang bagus seperti kepada kami, bahkan lebih bagus lagi.

Pak Haji Mubarok menutup acara dengan doa kemudian dilanjutkan saling bermaafan. Di momen inilah, keharuan timbul. Ucapan maaf dalam dalam pelukan seorang teman selama 40 hari itu diiringi dengan linangan air mata. Rasanya baru kemarin kami saling kenal, tapi terasa sudah tahunan kami bergaul. Pergaulan sehari-hari diwarnai suasana keakraban: tolong menolong dan saling mengingatkan. Kami menjadi saudara, satu dengan yang lain.

Saya sempat tersenyum ketika Ed, memeluk saya erat sambil terbata dia bilang,  “Maafkan kesalahan saya Kapten”. Ed, anak muda usia belum sampai ke angka 30, alhamdulillah sudah bisa ke Tanah Haram. Kemudian ada si Her, pengacara muda yang hebat, dalam pelukan saya dia berkata, “Maafkan saya (koma)Ndan, sampai bertemu lagi di lain waktu”. Saya juga tersenyum mendengar ucapan maafnya. Tentu saja saya juga minta maaf kepada mereka.

Sebutan “kapten” dan “Ndan” inilah yang membuat saya tersenyum. Ada ceritanya, kenapa muncul sebutan kapten dan komandan untuk saya.

Ed, sejak pertama saya lihat di acara-acara manasik di tanah air termasuk orang yang pendiam tapi senyumnya cukup menawan. Saya belum pernah berkomunikasi dengannya. Sementara dengan Her, beberapa kali saya terlibat diskusi, dia ini seorang pengacara sebuah perusahaan, di tanah air dulu kami sempat bertukar kartu nama.

Ketika di Mina, karena waktu luang cukup banyak sosialisasi sering kami lakukan termasuk saling bercerita mengenai aktifitas pekerjaan di tanah air, termasuk saat itu saya ngobrol dengan si Her ini. Rupanya, sedari awal Ed menyimak pembicaraan kami. Begitu ada jeda, dia menyeletuk, “Saya kira Bapak seorang tentara loh!” katanya kepada saya. Bukan saya yang menanggapi celetukan si Ed, tapi si Her menjelaskan panjang lebar mengenai pekerjaan saya. “Kenapa bisa mengira begitu, Ed?” tanya saya, menyambung si Her. Ed menjelaskan bahwa sejak pertama melihat saya di acara-acara manasik dia mengira saya tentara hanya karena rambut cepak dan badan tegap saya. Apa Ed nggak memerhatikan perut buncit saya ya.. ha..ha… Kemudian saya pun bertanya kepadanya, “Waktu mengira saya ini tentara, bayangan kamu pangkat saya apa?” Dengan senyumnya yang khas dia menjawab,”Paling nggak Kapten lah”.

Sejak saat itulah kalau Ed atawa Her ketemu saya, tak jarang mereka memanggil dengan sebutan Kapten atawa Ndan.

Siaapppppp……!