Setelah belajar, Asuti tidak langsung tidur tetapi menonton filem kesayangannya yaitu Hunter. Walaupun dia suka menonton tivi, dia tidak pernah melupakan belajar. Astuti selalu mendapat ranking di kelasnya. Seperti semester kemarin, dia menempati ranking kedua, satu tingkat di bawah nilai Mimin teman sebangkunya.
Walau begitu dia dan Mimin tak pernah bermusuhan, malah keakraban mereka dapat dijadikan teladan bagi teman-temannya. Mereka selalu belajar bersama sepulang sekolah. Soal ranking pun kadangkala Astuti di atas Mimin. Maka tak heran apabila banyak temannya yang minta tolong dalam hal pelajaran kepada Astuti atau Mimin.
Hunter tengah mengejar penjahat, dan terjadilah saling tembak. Astuti tegang menyaksikan adegan tersebut. Akhirnya hatinya lega setelah penjahat berhasil diringkus Hunter.
Sementara di kamar sebelah papa Astuti tidur lelap, setelah seminggu bertugas memberikan penyuluhan dan pengobatan bagi masyarakat pedesaan. Papanya adalah seorang dokter, sehingga waktunya banyak digunakan untuk kepentingan masyarakat. Selain bertugas di rumah sakit, dia juga membuka praktek di rumahnya. Astuti maklum akan kesibukan papanya, tetapi papanya selalu menyempatkan waktunya untuk Astuti anak satu-satunya.
Film Hunter sudah selesai dan Astuti pun mematikan pesawat tivi. Baru saja akan pergi ke kamarnya, terdengar pintu depan diketuk orang. Hati Astuti ragu-ragu ketika akan membukakan pintu, jangan-jangan yang datang seorang yang mempunyai maksud tidak baik. Tetapi perasaan itu dibuang jauh-jauh. Dengan langkah mantap, Astuti membuka pintu.
Di depan pintu terlihat seorang lelaku yang sudah agak tua berdiri sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya. Kelihatannya lelaki tua itu datang dari tempat yang jauh. Dengan terbata-bata dan mengharap belas kasihan lelaki tua tersebut berkata kepada Astuti.
“Nak, apakah Pak Dokter ada di rumah. Anu… bapak ke sini …mau minta tolong … …ee.. anak saya sedang sakit keras. Tolong ya Nak…”
Astuti terharu mendengar permintaan lelaki tua di hadapannya. Kemudian dia berkata :
“Tapi Pak… maaf ya… papa lelah, dan sekarang lagi istirahat. Maklum baru saja pulang dari tugas”.
“Tolong Nak, ke mana lagi bapak harus cari dokter. Pak Dokter sini kan paling dekat dari rumah saya. Aduh.. bagaimana nasib anak saya nanti. Tolong Nak, bangunkan Pak Dokter!”
Astuti semakin terharu dan hampir saja mengeluarkan air matanya. Lelaki di depannya itu sudah tua, dan kulitnya pun sudah keriput. Dia datang ke rumah Astuti dengan mengendarai sepeda bututnya.
Kemudian Astuti masuk rumah dan menyuruh lelaki tua itu untuk menunggu. Di depan kamar papanya, dia termangu sebentar. Sebenarnya dia takut bila harus membangunkan papanya yang sedang tidur nyenyak. Dia tahu kalau papanya lelah sekali. Biarlah, apapun yang terjadi akan dihadapinya. Pokoknya dia bermaksud menolong lelaki tua yang kini tengah menunggu di teras rumahnya.
Diketuknya pintu kamar papanya. Sudah beberapa kali diketuk, tak ada jawaban dari dalam. Astuti mulai putus asa. Sekali lagi dicobanya mengetuk pintu sambil memanggil papanya. Kali ini berhasil. Pintu terbuka dan sekarang papanya ada di depannya masih kelihatan ngantuk sekali.
“Ada apa Astuti, malam-malam begini kok membangunkan papa. Kamu tahu kan malam ini papa ingin istirahat dan tak mau diganggu. Sudah, besok saja kalau mau bicara dengan papa. Sekarang sudah malam tidur sana!” Begitu kata papanya sambil menutup pintu.
“Papa … buka dulu. Ada hal penting yang ingin Astuti sampaikan!” teriak Astuti.
Pintu kamar terbuka kembali. Kemudian Astuti menceritakan semua hal yang berhubungan dengan lelaki tua yang datang ke rumahnya. Semula papanya menolak dengan alasan lelah, tetapi Astuti mendesak terus akhirnya papanya berangkat juga menolong keluarga lelaki tua tersebut.
Pagi harinya, Astuti berangkat ke sekolah agak terlambat karena bangun kesiangan. Ketika sampai di sekolah bel berbunyi tiga kali tanda masuk sekolah. Pelajaran demi pelajaran diikuti dengan baik. Tak terasa waktu istirahat telah tiba.
Waktu istirahat digunakan Astuti untuk berbincang-bincang dengan teman-temannya. Tak terkecuali dengan mimin teman sebangkunya. Mimin yang dari tadi diam saja, mulai bicara.
“Untung deh As, semalam kakekku berhasil membawa dokter ke rumahku. Kalau nggak ditolong dokter itu, tak dapat kubayangkan apa yang terjadi terhadap ibuku,” ceritanya kepada teman-temannya.
“Memangnya ada apa Min?” Tanya Saigri minta penjelasan.
“Begini lho, semalam ibuku sakit keras. Kemudian kakekku mencari seorang dokter. Rasanya lama sekali menunggu kakek datang. Dan alhamdulillah kakek datang dengan seorang dokter. Maka ibuku dapat tertolong dan terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya. Sekarang ibuku dapat tidur tenang.”
Dengan tenang dan terharu Astuti dan teman-temannya mendengarkan cerita Mimin. Mereka sepakat akan menengok ibu Mimin besok paginya. Astuti tak menyangka kalau lelaki tua yang datang ke rumahnya tadi malam itu kakek Mimin, dan yang sakit ibu Mimin, sahabat karibnya selama ini. Astuti bersyukur karena dia sedikit banyak telah membantu keluarga Mimin dengan membujuk papanya agar sudi datang ke rumah Mimin. Waktu istirahat pun sudah habis. Anak-anak kelas 2 B SMP Cempaka berhamburan masuk kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Di dalam kelas Astuti tidak tenang mengikuti pelajaran, karena dia selalu membayangkan kejadian semalam. Andaikata papanya tidak menolong bagaimana nasib ibu Mimin. Memang, Mimin tidak tahu bahwa dokter yang datang ke rumahnya semalam adalah papa Astuti. Berulang kali Astuti mengucap syukur. Astuti berharap bel tanda pulang berbunyi, dan dia segera kembali ke rumahnya, kemudian menceritakan peristiwa tersebut pada papa dan mamanya.
CMI, 08 Nopember 1989