Judul Buku : Arok Dedes • Penulis : Pramoedya Ananta Toer • Penerbit : Lentera Dipantara, April 2009 • Tebal : xiii + 561 halaman
Buku Arok Dedes ini akhirnya melengkapi koleksi buku Pram di Ruang Buku Padeblogan. Ketika Arok Dedes ini diterbitkan oleh Hasta Mitra (sampai cetakan ke 5), saya selalu kehabisan buku ini. Lamat-lamat pikiran saya masih ingat ketika baca Arok Dedes ini semasa kuliah dulu, lagi-lagi, dalam bentuk foto kopian pinjam punya teman. Berikut saya sadurkan : Dari Lentera Dipantara halaman vi.
“Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasar bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” – Pramoedya Ananta Toer –
Bagi seumumnya pembaca Pramoedya Ananta Toer, karya tetralogi identik dengan “Tetralogi Buru” atau “Tetralogi Bumi Manusia” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). Namun, di pengasingan yang sama juga, Pram merancang “Tetralogi Buru” yang lain. Jika “Tetralogi Bumi Manusia” mengetengahkan latar masyarakat awal abd 20 yang merumus-angan dan meletakkan benih perjuangan dengan jalan semodern yang bisa, yakni pergerakan, organisasi, dan mobilisasi pendapat umum lewat pers, maka Tetralogi Buru yang lain ini mengambil latar jauh lebih ke pedalaman sejarah bangun-jatuhnya kerajaan di Jawa Dwipa. Tetralogi ini dimulai dari Arok Dedes (maka kemudian cukup disebut “Tetralogi Arok Dedes”), lalu disusul dengan Mata Pusaran (yang sempat hilang, lalu ditemukan dengan tubuh remuk-cacat di mana tersisa hanya halaman 232-362), dilanjutkan dengan Arus Balik, dan terakhir naskah lakon Mangir.
Mata Pusaran, roman sejarah yang hilang itu berkisah tentang awalnya disintegrasi kekuasaan Majapahit oleh konflik intern yang mencetuskan Perang Paregreg antara Ratu Suhita dengan panglima perempuannya Ni Paksini/Ni Ken Supraba melawan Bhre Wirabhumi dari Lumajang.
Naskah Mata Pusaran yang telah rampung itu dititipkan oleh penulis pada perwira angkatan laut pada saat meninggalkan pulau Buru, tetapi disita oleh penguasa dengan cara dan praktek-praktek kebiasaan Orde Baru – tanpa kejelasan otoritas dan proses penyiataan sehingga tidak memungkinkan mengklaimnya kembali atau bahkan mengusut keberadaannya. Juga tidak ada jaminan sama sekali naskah sitaan itu tersimpan dan terpelihara baik terhadap berbagai kemungkinan kemusnahan. Kekuatiran itu ternyata beralasan, seorang ilmuwan Belanda yang rajin mencari literature di pasar buku tua di Pasar Senen, Jakarta secara mengherankan sekali menemukan naskah “Mata Pusaran” itu. Apa yang dia temukan masih dalam ketikan setengah folio yang sudah difotokopi, namun sangat disayangkan tidak lengkap – tidak utuh. Dalam hal ini kami menghimbau semua pihak agar juga melakukan hal yang sama bila kebetulan dapat menemukan naskah tersebut, dalam keadaan utuh atau pun sepotong-sepotong. Pramoedya pada saat itu sangat kecewa mengatakan bahwa usia dan kesehatannya sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk menulis ulang roman sejarah itu. Oleh karena itu, dari lembaran-lembaran tersisa yang mungkin masih dapat dilacak kembali, redaksi – dengan bantuan pembaca – berniat sedapatnya menghimpun dan merampungkan kembali novel itu agar menjadi naskah utuh untuk dapat dibaca oleh segenap peminat karya-karya Pramoedya.
Tetralogi pertama ini, Arok Dedes, adalah roman yang menolak seluruh dongengan dan mistika yang menyelimuti cerita di mana nyaris seluruh daya-sadar masyarakat Indonesia pernah menanggapnya karena masuk dalam silabus buku-buku sejarah diniyah. Di tangan Pram, sejarah awal abad 13 itu, seluruh mistika yang menyertai jatuhnya Tumapel, dicerabut, disiangi, dibersihkan. Yang irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan) diluruhkan. Dan berubahlah cerita Arok Dedes yang terkenal itu menjadi cerita politik yang menggetarkan. Ini roman politik yang seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di Nusantara. Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian kekuasaan sepenuh-penuhnya. Kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan gerakan militer (Gerakan Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan, mengorganisasi kelompok paramiliter (begundal-begundal dan jajaro), dan memanasi perkubuan. Aktor-aktornya bekerja seperti hantu. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tiada bukti yang paling sahih bagi penguasa (Tunggul Ametung dan patih-patihnya) untuk menyingkirkannya.
Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus (dari kalangan sudra/agrari yang merangkakkan nasib menjadi penguasa tunggal tanah Jawa). Mula-mula, didekatinya para intelektual dan kaum moralis (brahmana) untuk mendapatkan legitimasi bahwa usaha kudetanya legal. Karena betata pun kekuasaan politik, selalu butuh legitimasi – baik legitimasi agama (sesembahan dewa-dewi) maupun legitimasi sejarah dan identitas (kekastaan, asal-usul).
Arok mendapatkan semua legitimasi itu untuk mengukuhkan diri sebagai penyelamat Rakyat dari politik yang dijalankan oleh Orde Ametung secara sewenang-wenang. Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumut darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel, karena politik tak selalu identik dengan perang terbuka. Politik adalah permainan catur di atas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan melempar umpan-umpan untuk mendapatkan peruntungan besar. Tak ada kawan dan lawan. Yang ada hanya tujuan akhir : pemuncak kekuasaan itu sendiri; tahta di mana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadi yang dimau.
Pada akhirnya, roman Arok Dedes menggambarkan peta kudeta politik yang kompleks yang “disumbang” Jawa untuk Indonesia.