Antareja sang penjaga bumi


Nama Antareja pertama kali muncul di lakon Sembadra Larung. Lelaki berbadan kekar ini anak sulung Bimasena dari istri yang bernama Nagagini putrinya Bathara Anantaboga, dewa bangsa ular. Ia lahir tanpa ditunggui oleh bapaknya, bahkan hingga ia dewasa tak pernah bersua dengan Bimasena. Nagagini membesarkan Antareja dengan cara single parent.

Karena sang ibu dapat mengubah ujudnya menjadi ular naga, maka sehari-hari Antareja kecil dilatih oleh ibunya itu untuk bermain-main di dalam bumi. Bahkan tak jarang, ia tidur di dalam perut bumi jika kelelahan bermain.

Menginjak remaja ia mempertanyakan siapa bapak kandungnya. Nagagini berterus-terang siapa sebetulnya bapak biologisnya. Lagi pula memang sudah saatnya Antareja dipertemukan dengan Bimasena a.k.a Werkudara, putra kedua Pandawa. Nagagini memberikan sebuah jimat kepada putra kesayangannya itu berupa cincin yang diberi nama Mustikabumi.

Nagagini memberikan arah jalan kepada Antareja supaya ke Kerajaan Amarta, sebuah negeri kepulauan yang terletak persis terbelah oleh garis khatulistiwa. Ciri-ciri negeri Amarta tanahnya subur, rakyatnya makmur, gemah ripah loh jinawi, tongkat dan batu kalau dilempar ke tanahnya akan menjelma menjadi tanaman. Kandungan buminya dapat menghidupi rakyat hingga ribuan tahun mendatang. Antareja sangat mengingat kata ibunya, kalau Amarta adalah tanah surga. Lautnya seperti kolam madu dan susu, yang luasnya dua pertiga dari luas seluruh Kerajaan Amarta.

Syahdan, dengan berbekal informasi tersebut Antareja bertanya kepada setiap orang suci yang ditemuinya di mana letak Amarta. Orang-orang suci menunjuk ke arah matari terbit.  Dengan kesaktian yang dimiliki, Antareja menjelajah bumi melalui lorong-lorong di bawah tanah.

Kadangkala ia juga berjalan di atas tanah, untuk memastikan di mana Amarta berada. Satu purnama sudah ia mengelilingi bumi, ia tak menemukan ciri-ciri negeri Amarta.

“Bumi yang kamu pijak adalah negeri Amarta, anakku!”

Ia dikagetkan oleh sebuah suara. Matanya mencari arah suara. O, rupanya Bathara Anantaboga yang berbicara.

“Saya menghaturkan sembah, Eyang. Kata Eyang, inikah negeri Amarta? Kenapa beda banget dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh ibu?”

“Bumi Amarta telah diacak-acak oleh tangan-tangan rakus, cucuku. Hutan dibabat habis. Kandungan bumi dipaksa keluar secara prematur. Kini yang ada hanyalah tanah gersang. Tanah surga hanya tinggal dongeng belaka.”

“Apa yang bisa saya lakukan, Eyang?”

“Pergilah ke pulau sebrang, dan jagalah buminya. Di sana masih ada sejumput surga!”

Antareja mematuhi perintah kakeknya. Di sana nanti ia bertemu dengan Bapaknya.