Angkringan, kini makin gaul

Warung “Nasi Kucing” sudah menyebar ke kota-kota lain, masih menggunakan konsep tradisional, yakni berjualan di pinggir jalan/trotoar menggunakan tenda dengan lampu teplok sebagai ciri khasnya (beberapa menggunakan lampu neon/bohlam karena warungnya tidak terterangi oleh lampu penerangan jalan umum). Tapi, warung “Nasi Kucing” di daerah asalnya (Solo-Yogya) berkembangannya mengikuti trend bisnis modern. Loh?

Istilah nasi kucing berasal dari bahasa Jawa sego kucing yakni sekepal nasi berlauk teri plus sambal, kadang hanya dengan orek tempe atawa sayur oseng-oseng. Di wilayah sekitaran Solo-Yogya warung sego kucing ini disebut dengan Warung Hik (nama ini mungkin diambil dari bunyi orang bersendawa/glegekan karena makan kekenyangan), Warung Wedangan (wedangan berarti minum minuman yang panas/hangat seperti teh, kopi, jahe atawa campuran ketiganya) dan Angkringan (angkring berarti pikulan lapak jualan, bisa dipindah dengan cara dipikul. Angkring sering digunakan oleh pedagang bubur kacang ijo, soto, sate dan sebagainya). Selain sego kucing, disediakan beraneka macam makanan/lauk: tahu/tempe bacem, tahu/tempe goreng, telur puyuh tusuk sate, berbagai macam gorengan, ati ampela, usus ayam, kepala ayam, ikan wader (baby fish), dan sebagainya.  Makanan/lauk dan sego kucing  tersebut tidak dimasak sendiri oleh si penjual tetapi dipasok oleh orang lain. Bisa jadi, satu warung sego kucing dipasok oleh sepuluh pemasok. Hmm, inilah bentuk nyata sebuah sistem ekonomi kerakyatan.    

Zaman berkembang dengan pesat. Konsumen Warung Hik bukan lagi para orang tua yang ngobrol perkara nomor buntut yang jitu seperti tahun 70 atawa 80-an, tetapi para mahasiswa, anak muda kosmopolitan dan ada khalayak menengah-atas yang penasaran rasa sebungkus sego kucing.  Kalau Anda berkeliling kota Solo-Yogya dan sekitarnya, Warung Hik semakin gaul saja. Penampilan mereka seperti a la café yang dilengkapi berbagai fasilitas teknologi informasi: free hot-spot, internet gratis, TV kabel dan lain-lain. Meskipun a la café, yang dijual ya itu-itu juga: sego kucing dan kawan-kawan pendukungnya.

Lalu perkara harga bagaimana? Sepertinya pengelola Warung Hik gaul seperti itu ‘nggak bisa semena-mena’ memahalkan sego kucing-nya. Bisa-bisa konsumen lari ke café beneran.

Selain menggunakan konsep a la café, kini ada trend baru yakni Warung Hik model food court seperti yang ada di mal. Model ini terdiri atas 5 atawa 10 (bahkan lebih) lapak Hik yang berjualan di satu tempat, berjejer panjang. Di depan lapak disediakan bangku panjang, di belakang digelar tikar untuk lesehan. Konsumen bebas memilih nongkrong di lapak mana yang mereka suka.

Hemat saya, Warung Hik model food court ini masih menjadi peluang usaha yang berprospek cerah, bagi  Anda punya tanah agak luas. Sewakan saja tanah Anda itu (apalagi plus lapak-lapaknya). Ini jelas membuka banyak peluang kerja. Tentu ini juga sebuah rantai sistem ekonomi kerakyatan yang sangat nyata. Anda pemilik tanah dan lapak, penjual/pengelola, pemasok sego kucing/makanan lain, tukang cuci piring, tukang parkir, seniman jalanan, semua kecipratan rejeki si sego kucing.

Bagi saya yang termasuk generasi sepuh, angkringan tradisional lebih mat.

Keterangan gambar: Hik-hikan Plus berlokasi di sebelah barat Stadion Angkatan ’45 Karanganyar Solo