Anak Arloji

Pada pemeriksaan kali ini, perut istriku yang buncit diolesi krim gel. Lalu dilakukan proses ultrasonografi dengan sebuah kamera diletakkan di atas permukaan perut yang sudah licin itu. Aku diminta memandang monitor kecil di meja dokter, yang dihubungkan dengan lensa alat itu. Lalu sebuah radio – atau alat semacam itu – memperdengarkan suara keresek-keresek, mirip pesan dari angkasa luar yang sulit dimengerti karena diombang-ambing gemuruh udara kotor.

Kulihat raster dengan jutaan dot dan pixel yang membentuk bayangan hitam dan putih. Sejujurnya, aku tak tahu itu gambar apa. Di mana kepala, yang mana anggota badan, tidak jelas posisinya, tapi sebaiknya kupercaya saja bahwa itu adalah potret segumpal janin yang diambil melalui berlapis-lapis serat daging. Lalu sang dokter tersenyum memandangku. Aku berusaha menunjukkan rasa bangga bahwa akhirnya spermaku berhasil membuahi sel telur istriku.

“Dengarlah, ada degup jantung,” kata dokter.

Aku menajamkan telinga. “Suaranya samar-samar.”

“Ya, tapi cukup mudah dibedakan antara suara degup jantung dengan suara yang lain,” ujar dokter itu lagi.

Aku berusaha mengangguk. Berusaha yakin, meskipun sebenarnya sulit membedakan. Aku hanya tak ingin mengecewakan perasaan dokter. Juga perasaan istriku, jika aku terus bertanya: yang mana degup jantung sang bayi? Bukankah ada suara-suara lain? Alasanku memercayai ucapan dokter itu juga disebabkan tidak ingin dianggap bodoh dan tidak mengerti. Yang dipasang itu alat canggih, sebagian sanggup melihat ke dalam rahim, sebagian bisa mendengar suara di dalam rahim.

“Memang ada dua detak jantung, yang lebih lambat milik ibunya.” Dokter itu kembali menjelaskan.

Istriku tersenyum. Seolah mengucapkan terima kasih dengan tatapan matanya yang lembut. Tatapan mata itulah yang pernah dan selalu membuatku terpesona. Membuat jantungku berdebur-debur. Dan saat itu, kurang lebih tiga tahun yang lalu, perasaanku luluh. Aku mencintainya sekaligus memercayai bahwa ia akan setia kepadaku. Maka, dilaksanakanlah hari perkawinan untuk mengakhiri masa pacaran kami yang tak terlampau berlarut-larut. Dan sejak malam pertama, aku menyampaikan kepadanya beberapa keinginan, antara lain memiliki beberapa anak yang sehat dan pintar.

Kugenggam tangan istriku, menyambut tatapan mata lembutnya. Untuk beberapa saat dokter membiarkan kami saling mengutarakan keterharuan. Sampai akhirnya ia melepas alat peneropong dari puncak perut istriku. Pemeriksaan berakhir dengan memberi resep berupa vitamin dan pesan-pesan agar menjaga kondisi tubuh demi kesehatan sang bayi dan ibunya. Tapi, di ujung perpisahan, sebelum kami membuka pintu dan keluar dari kamar periksa, dokter menyampaikan sesuatu yang kurasa agak aneh.

“Tidakkah kalian dengar tadi, di antara dua detak jantung, kita juga mendengar detak arloji?”

“Detak arloji?” Aku mengerutkan kening, memandang istriku.

~oOo~

Anda penasaran membaca lanjutan cerpen di atas? Silakan membuka buku kumpulan cerpen Kurnia Effendi yang berjudul Anak Arloji (Penerbit Serambi, Maret 2011) halaman 151. Selain Anak Arloji, buku ini menyajikan 13 cerpennya yang lain: Noriyu, Aromawar, Kuku Kelingking, Panggilan Sasha, Pertaruhan, Laut Lepas Kita Pergi, Kamar Anjing, Tetes Hujan Menjadi Abu, Sepanjang Braga (versi kelima), La Tifa, Wangi Kaki Ibu, Penggali Makam dan Jalan Teduh Menuju Rumah.
Bagi saya, buku ini terasa sangat istimewa karena Mas Kurnia Effendi berkenan menorehkan tulisan tangannya di halaman pertama pada pertemuan langsung dengannya. Saya pertama kali mengenal cerpennya yang dimuat di Kompas, lalu membacanya kembali setelah terbit dalam antologi bersama seperti Jl. Asmarandana, Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005 dan Pipin, Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2007. Membaca cerpen-cerpennya kita akan disadarkan betapa kata-kata yang disajikan memukau dan terjaga intensitasnya, menunjukkan kematangan Kurnia Effendi. Membaca buku kumpulan cerpen Anak Arloji sanggup mengajak kita menghayati berbagai situasi hidup yang sering tak terselami dan tak terpahami. Dan seperti tulisan tangan Mas Kurnia Effendi di halaman pertama: buat Mas Guskar, semoga buku ini menjadi inspirasi hidup. Salam.