Sahabat saya yang bernama Sapto Pancawaja itu memamerkan batu-batu akik yang menghiasi jemari tangannya. Saya tak begitu paham ketika ia menyebut nama-nama akik klangenan-nya tersebut.
“Yang warna hijau ini berasal dari sungai Luk Ulo. Aku mendapatkannya dengan cara bertapa. Batu ini hasil evolusi bumi jenis lava basalt,” ia mulai membual, saya rasa.
“Sampeyan malah seperti Tessy Srimulat, semua jari kok dipasangi akik. Nggilangi,” tukas saya.
“Akik yang ini aneh, sering keluar penampakan seorang perempuan!” katanya dengan masih menunjuk ke akik yang berwarna hijau tersebut.
“Ah.. sing bener?” tanya saya penasaran.
Tak lama kemudian sahabat saya tadi mengelus-elus akik hijau yang ia kenakan di jari tengah tangan kiri. Saya menunggu keajaiban yang akan terjadi. Tak terjadi apa-apa!
“Begini saja, akik ini saya titipkan ke sampeyan. Nanti coba dielus-elus, sampeyan akan melihat penampakan seorang perempuan,” kata sahabat saya meloloskan akik dari jemarinya.
***
Tadi malam, iseng-iseng saya mengelus-elus akik titipan sahabat saya.
“Akulah perempuan penunggu akik. Segera kembalikan aku ke sungai Luk Ulo. Kalau tidak, kalian akan mengalami malapetaka!”
Sosok perempuan muda itu jelas-jelas berkata kepada saya seorang saja, tetapi kenapa ia menyebut saya dengan kata kalian? Sorot matanya bernada sangat murka, saya takut sekali.
“Kalian telah merusak lingkungan tempat tinggalku! Malapetaka akan segera datang menghampiri kalian!” ancamnya.
***
Syahdan, sekelompok warga kampung melakukan ritual memohon kepada para dewata di kahyangan sana. Permohonan yang sangat ganjil, menurut saya. Betapa tidak? Warga kampung meminta sebuah gunung dapat didirikan di kampung mereka. Rupanya, para dewa sedang berbaik hati kepada warga kampung. Mereka bersedia membikinkan sebuah gunung di tengah kampung.
“Namun ada syaratnya!” kata dewa kepada tetua kampung.
“Apa itu?” tanya tetua kampung.
“Selama kami membikin gunung, warga kampung dilarang melihat prosesi pembuatan gunung. Kami akan dirikan sebuah gunung dalam semalam saja. Bagaimana, sanggup ndak dengan syarat ini?” tanya dewa.
Para warga pun menyanggupi persyaratan tersebut.
Ketika senja turun, semua warga desa masuk rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Setelah situasi kondusif, para dewa turun dari kahyangan membawa berbagai macam peralatan untuk mendirikan sebuah gunung di pinggiran sungai Luk Ulo.
Menjelang fajar, keluarlah seorang gadis bermaksud memncuci beras di sungai Luk Ulo. Hari masih sangat gelap, tetapi gadis itu tak memperdulikan keadaan. Sudah menjadi kebiasaannya mengerjakan tugas mencuci beras untuk ditanak.
Betapa terkejutnya ia ketika sampai di tepi sungai ia mendapati ada sebuah bukit di kampungnya. Ia merasa salah jalan, tetapi tidak mungkin sebab ia hapal betul dengan seluk-beluk jalanan di kampungnya. Ia fokuskan penglihatannya. Ia semakin terkejut ketika ia melihat sosok-sosok tinggi besar sedang membangun sebuah gunung. Ia berlari dan menjerit minta pertolongan. Beras dalam bakul yang dibawanya dilemparnya. Butiran-butiran beras sebagian ada yang masuk ke sungai dan sebagian lagi tercecer di dinding bukit.
Jeritan gadis membuat para dewa yang sedang membangun gunung terkejut. Prosesi pembuatan gunung telah dipergoki seorang manusia, maka para dewa segera meninggalkan bangunan gunung yang belum sempurna bentuknya.
Ketika berlari menyusuri sungai, kaki gadis itu terpeleset dan ia terjatuh ke dalam sungai dan tubuhnya terseret aliran sungai.
***
“O ini rupanya legenda Gunung Wurung itu,” gumam saya.
“Ya, akulah gadis yang kintir di sungai Luk Ulo dan kini jadi penunggunya. Kalian yang sedang rakus-rakusnya mendapatkan batu akik, tega mengeksploitasi Gunung Wurung dan sungai Luk Ulo. Tahukah kalian, butiran-butiran beras milikku yang kalian ambil!” katanya bikin pekak telinga saya.
Dari kejauhan saya menyaksikan proses eksploitasi Gunung Wurung secara liar, hanya untuk mendapatkan sebutir-dua batu akik.