Akhirnya Gino pun bisa berkurban

Pagi tadi wajah Gino berseri-seri. Dari ujung pintu sepertinya ia sudah menunggu kedatangan saya. Sebagai seorang OB, pagi hari seperti itu mestinya ia tengah sibuk-sibuknya mempersiapan minuman semua karyawan.

“Selamat pagi pak, maaf pagi-pagi begini sudah menghadap,” kata Gino sambil ngapurancang.

“Ada apa, No? Kok raimu sumringah, kabar baik?” tanya saya.

Inggih pak. Saya mau ngabari kalau eh… insya Allah Idul Adha bulan depan saya bisa ikut kurban. Seneng sekali saya pak, seumur-umur baru bisa melaksanakan kurban,” jawabnya dengan nada gembira.

“Sapi, No?” goda saya.

Nggih mboten, wedhus gembel, Pak. Untung tahun lalu saya ngikuti petunjuk Bapak!” jawab Gino, mlengeh.

~oOo~

Tahun lalu, selepas shalat berjamaah maghrib Gino pernah mengutarakan niatnya untuk bisa melaksanakan kurban. Ia minta pendapat saya. Lalu dengan bantuan corat-coret di atas kertas saya menjelaskan bahwa untuk melaksanakan kurban bisa direncanakan setahun sebelumnya.

Taruhlah harga domba berkisar Rp 1.000.000-an. Tahun depan, direncanakan beli domba kira-kira dua minggu sebelum Idul Adha. Jadi, Gino punya waktu sekitar 340 hari untuk mengumpulkan uang sebesar Rp 1.000.000.

“Apa saya bisa mengumpulkan uang sejuta pak?” tanya Gino waktu itu.

“Kamu sudah punya niat yang baik. Gusti Allah akan membantumu. Insya Allah,” kata saya.

Pripun caranya pak?” tanyanya lagi.

“Lihat perhitungan ini. 1.000.000 dibagi 340 hari. Sehari paling nggak kamu sisihkan uangmu sebesar 3.000 rupiah. Nanti, setelah 340 hari uangmu terkumpul 1.020.000. Kuncinya kamu mesti disiplin,” tegas saya.

“Disiplin, pripun pak?” tanya Gino lagi.

“Mulai besok dirikan shalat dhuha. Kamu tahu kan, kalau shalat dhuha itu disebut juga dengan shalat rejeki? Nah, selesai shalat dhuha kamu sisihkan 3.000 rupiah dari dompetmu. Bikin semacam celengan untuk menyimpan uangmu itu. Di sinilah letak kedisiplinanmu,” papar saya.

“Waduh, bisa-bisa saya nggak merokok tuh pak!” selanya.

“Nah, di sini letak disiplin yang lain. Kurangi jumlah batang rokok yang kamu isap. Kalau sehari kamu habiskan sebungkus, kurangi separohnya. Tidak merokok lagi, itu lebih baik. Tapi itu pasti angel banget mbok lakoni,” kata saya.

~oOo~

“Duitmu terkumpul berapa, No?” tanya saya.

“Ada sejuta seratus lima belas ribu, Pak. Sabtu dan Minggu kemarin saya nyari kambing dapat yang harga sembilan ratus ribu. Alhamdulillah,” kata Gino.

“Alhamdulillah, ya?!” saya ikut bersyukur. “Tapi kamu hebat, tabunganmu melebihi target.”

“Saya juga gumun kok, Pak. Lha kok bisa saya mengumpulkan uang segitu banyak. Tanpa membebani keuangan rumah tangga, lagi. Kira-kira penyebabnya apa nggih, Pak?” tukas Gino.

“Menurut pemahamanku begini, No. Semua karena keikhlasanmu dan shalat dhuha yang kamu lakukan saban hari. Gusti Allah memberikan rejeki kepadamu dari arah yang tak terduga,” saya mencoba menjelaskan ke Gino.

“Tapi, seingat saya kok nggak pernah dapat rejeki nomplok ya, Pak?” tanyanya.

“Begini. Jangan serta merta kamu anggap rejeki itu berupa uang. Kalau melihat jumlah uang yang berhasil kamu kumpulkan mencapai sejuta seratus lima belas ribu itu, sehari kamu bisa nyelengi lebih dari tiga ribu rupiah. Kok bisa? Coba kamu ingat-ingat. Bisa jadi kamu semakin irit dalam pengeluaran untuk membeli rokok, membeli pulsa atawa membeli bensin untuk motormu. Mungkin juga, makanan yang kamu makan semakin berkah, sehingga dengan makan sedikit saja sudah mengenyangkan perutmu. Atawa ada orang yang nyambat tenagamu, lalu kamu mendapatkan upah dan sebagainya. Kalau dirunut kamu akan kelebihan uang yang bisa kamu tabung saban harinya,” papar saya lagi.

“Benar juga ya, Pak” sahutnya.

Gino pamit keluar ruangan saya untuk melanjutkan tugas utamanya.