Nama aslinya Paiman, tapi orang-orang suka memanggilnya dengan nama Ariel. Entah siapa yang pertama kali memanggilnya begitu. Tapi yang saya tahu, sejak ia mangkal di ujung jalan ke Padeblogan ia kondang dengan nama Ariel itu. Ya, wajah dan penampilan Paiman memang mirip Ariel. Wajah tirusnya, rambutnya, sorot matanya bahkan lagak lagean berjalannya pun sangat mirip Ariel.
Paiman membuka kios kelontong dekat pangkalan ojek. Konsumen utamanya selain tukang ojek dan orang yang lewat, juga para cantrik Padeblogan. Tapi, sore kemarin ketika saya ke kiosnya tidak menjumpai si Ariel.
“Lekum. Beli koyo cabe dua biji mas.”
“Lho, koyonya buat siapa Kyaine?”
“Ini apa, gigi geraham saya bengkak. Suakit banget. Tapi ngomong-ngomong Ariel ke mana mas?”
“Elho, apa Kyaine pangling sama saya, to?”
Saya mengamati laki-laki muda di hadapan saya. Rambut cepak, ucapannya jelas, tetapi ada rona kekecewaan di raut wajahnya.
“Kamu Ariel? Kok jadi cepak gini. Ilang sama sekali ciri Arielmu itu.”
“Saya kecewa dan sedih Kyaine. Saya serasa lumpuh kehilangan panutan. Gara-gara ulah Ariel brengsek itu Kyaine, maka saya hilangkan jiwa Ariel dari tubuh saya ini. Saya nggak bangga lagi meniru Ariel sang idola!”
Paiman terduduk lesu. Saya yang menahan sakitnya gigi yang makin senut-senut, saya ambil kursi dan duduk di sebelahnya.
“Larah-larahe ki apa. Apa penyebabnya, Man?”
“Ngeten Kyaine. Begini. Sejak beredar video mesum sang idola itu saya kok jadi nggak simpati lagi sama sang idola. Malu saya bergaya mirip dia. Saya mengagumi dia lewat lagu-lagu yang diciptakan dan ditembangkan olehnya. Hiks… hiks….”
“Oh, ngono ya Man. Tapi, kamu sudah lihat sendiri video itu?”
“Sampun. Kemarin lihat dari hape tukang ojek.”
“Itu benar sang idolamu?”
“Meskipun gambarnya bruwet, tapi mirip banget kok.”
“Terus apa yang kamu lakukan selanjutnya, mengubah gayamu gitu? Supaya nggak mirip sang idola lagi?”
“Nggih Kyaine. Bahkan kaset dan posternya saya hancurkan.”
“Edan tenan. Kok bencimu sundhul langit gitu, Man.”
“Orang yang panggil saya Ariel juga saya bentak kok Kyaine.”
“Ya…ya… mangkane aku dari tadi manggil kamu Man. Wedi mbok getak.”
Saya menghela nafas panjang. Mungkin saya juga pernah kecewa. Kekaguman saya pada pemimpin, atasan, guru atau mungkin sahabat saya yang semula kelihatan sempurna, langsung pupus seketika karena sesuatu hal.
“Kok mendel, diam saja Kyaine?”
“Anu Man, aku lagi merenung saja kok. Kita kecewa dengan idola kita bisa jadi karena cinta kita yang buta nggak memberi ruang sedikit pun kepada sisi kemanusiaan idola kita. Kita mestinya menyadari bahwa mereka tidak pernah sempurna dari siapa pun juga. Mudah-mudahan peristiwa ini menjadikan kamu makin dewasa, Man. Dan hendaknya segala hal baik yang terlihat pada dirimu, sejatinya mencitrakan adanya dirimu.”
“Matur nuwun pituturnya, Kyaine.”
“Yo wis, tak balik dulu. Makin nggak tahan merasakan sakitnya gigi ini.”
“Kok nggak dibawa ke dokter gigi saja to Kyaine?”
“Ora, Man. Aku lagi musuhan sama dokter giginya, je.”
Ketika saya melangkah menjauhi kios Paiman terdengar sebuah suara dari pangkalan ojek.
“Man…. Ini ada video terbaru idolamu…. Lagi main sama penyiar acara gossip!!!”
Gubrakk!!! Sepertinya Paiman terjungkal dari kursinya.