70 | Rebo Kliwon

Di keluarga besar saya tak ada tradisi merayakan ulang tahun. Jangankan menyediakan kue tart dan tiup lilin, sekedar mengucapkan selamat ulang tahun saja sering lupa. Sampai saat ini, saya nggak punya pengalaman meniup lilin ulang tahun dan (rasanya) tak ingin punya pengalaman tersebut.

Bagaimana dengan anak-anak saya? Apakah Kika dan Lila pernah dirayakan ulang tahunnya?  Ya, mereka masing-masing pernah sekali dipestain di sekolah, ketika mereka masih duduk di bangku TK.

Setelah itu tak ada lagi, cukup sekali saja.

Tradisi perayaan ulang tahun dimulai di Benua Eropa sejak berabad-abad silam dan waktu itu hanya diperuntukkan bagi para raja. Kenapa mesti dirayakan? Sebab menurut kepercayaan mereka, nekjika seseorang itu berulang tahun, maka para setan akan ramai-ramai mendatangi orang yang berulang tahun itu. Untuk melindungi dari gangguan setan yang datang, maka keluarga dan kerabatnya diundang untuk menemani saat ulang tahun, dengan bernyanyi dan membacakan doa-doa. Suasana dibikin semeriah mungkin agar para setan mengurungkan niatnya mendatangi orang yang berulang tahun itu. Dalam perkembangannya, pesta ulang tahun dilengkapi dengan menyalakan dan meniup lilin, memotong kue dan pemberian kado/hadiah. Kini, ulang tahun juga dirayakan oleh kalangan orang biasa. Itulah kenapa di pesta ulang tahun selalu dilengkapi mahkota dari kertas, terutama pada ulang tahun anak-anak.

Gara-gara tutur-lisan di atas.

~oOo~

Tersebab ada urusan kangen, tadi pagi saya menelpon ibu untuk menanyakan kesehatan Bapak dan Ibu, bagaimana puasa pertamanya, dan sebagainya.

“Dina iki rak wetonmu to? Dina apik, pas pasa!”

“Iya buk. Dina iki ya pas ulang tahune buk’e to? Wah, ra krasa wis sewidak sanga.”

“Mestine pitung puluh.”

“Piye, to?”

“Neng ijazah SD ditulis taun patang puluh telu, mbuh kok bisa dadi patang puluh papat.” 

Begitu saja percakapan kami perkara ulang tahun dan weton. Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa.