Kalau ngantuk jangan nyetir

Pernah di jalan tol ruas Jakarta-Cikampek dipasang sebuah spanduk peringatan bertuliskan: Kalau Ngantuk Jangan Nyetir, Kalau Nyetir Jangan Ngantuk. Peringatan tersebut betul belaka.

Semalam, dalam perjalanan ke Stasiun Cikampek, saya mendengar informasi dari radio kalau di ruas Tol Jakarta-Cikampek KM 56 terjadi kecelakaan yang menyebabkan arus lalu lintas tersendat. Saat itu sedang dilakukan penangangan oleh petugas. Memang dari awal saya ingin lewat tol supaya perjalanan lebih cepat (biasanya saya melewati jalan lama), tetapi kadung masuk tol, ya sudah. Jalanan yang tersendat membuat saya terkantuk-kantuk.

Meskipun sudah melewati lokasi bekas kecelakaan, arus lalin masih tersendat. Kendaraan kadang melaju dan tiba-tiba berhenti.

Lalu, braakkk!!!

Kyai Garuda Seta yang saya kendarai menabrak pantat mobil di depan saya. Suara yang ditimbulkan cukup kencang. Mata yang terpejam sekian detik membuat refleks injak rem terlambat. Seketika kantuk saya hilang. Memang sepanjang jalan saya sudah terkantuk-kantuk, apalagi nyetir sendirian.

Saat itu posisi mobil ada di lajur paling kanan. Pelan-pelan, mobil yang saya tabrak menuju bahu jalan dan saya mengikutinya dari belakang. Saya mereka-reka ganti rugi yang akan saya berikan kepada pemilik mobil yang saya tabrak, termasuk kemungkinan menginformasikan kalau asuransi mobil saya meng-cover kerugian pihak yang saya tabrak.

Setelah memarkir di tempat yang aman, saya segera menghampiri pemilik mobil. Saya mengaku salah dan siap memberikan ganti rugi. Saya cek: hmm, penyoknya lumayan parah.

Mereka bertiga, ayah-ibu dan seorang anaknya usia 10 tahunan. Sang ayah menggertak saya supaya masalah diselesaikan di kantornya saja. Maklum, ia seorang aparat penegak hukum. Saya nego supaya diselesaikan di tempat saja (saya sudah menghitung konsekuensi jangka panjangnya). Dengan dibantu omong oleh istrinya, akhirnya disepakati saya memberikan ganti rugi.

Dengan melihat kerusakan yang ada saya memberikan sejumlah ganti rugi yang menurut perhitungan saya besarnya dua kali lipat. Ndak apa-apa, pikir saya. Mereka toh juga rugi non material seperti kaget, rugi waktu, memerlukan tenaga dan waktu untuk ke bengkel dan lain-lain.

Transaksi ganti rugi saya lakukan dengan M-Banking, ada konfirmasi dana sudah diterima oleh rekening si ibu. Tetapi si ayah tak percaya begitu saja, ia mengajak saya mengeceknya di ATM terdekat dengan menyandera KTP, SIM dan STNK saya. Akhirnya kami mampir di rest area KM 72. Dan betul saja, dana sudah diterima di rekeningnya.

Di tempat itu kami saling tukar nomor hape dan bersalaman sebagai tanda damai.

Posisi saya sudah sangat menjauhi Cikampek. Saya keluar pintu tol terdekat lalu berputar arah. Saya terlambat 30 menit sampai di stasiun.

Sepanjang perjalanan pulang saya berpikir mengenai uang ganti rugi (belakangan saya menyadari gede juga saya memberikan ganti rugi). Saya mencoba mengingat apa ada keteledoran saya hingga uang tersebut berstatus bukan menjadi hak saya?

Bebal betul saya!

Sebab ini teguran kedua dari Gusti Allah. Teguran pertama bisa dibaca di sini. Ini perkara penundaan pembayaran zakat penghasilan.

Jangan ditiru ya?